Rabu, 30 Maret 2011

JIHAD PALING BESAR MELAWAN HAWA NAFSU


Semua maklum bahawa hukum berjihad adalah wajib, tetapi bagaimana kedudukannya dalam Islam? Di dalam Islam kedudukan jihad jatuh nombor tiga setelah rukun Iman dan rukun Islam.
Mengapa jihad itu dianggap besar? Setelah Rukun Iman dan Rukun Islam, jihad adalah yang paling utama, dia menjadi nombor satu, dia jadi besar. Mengapa?

Kita cuba ambil satu ayat Quran, Allah berfirman, “Innallahastara minal mukminina anfusahum waamwalahum liannahumul jannah. “
Maksudnya, “Sesungguhnya Allah akan membeli pada diri orang-orang beriman itu dirinya dan harta-hartanya dengan balasan syurga “.

Itu tawaran Allah, karena jihad itu besar maka disuruh beli. Jihad itu ada yang lahir ada yang batin. Dari segi lahirnya jihad menentukan hidup mati Islam. Kalau ada jihad hiduplah, kalau tidak ada jihad matilah. Dari segi batin, jihad menentukan seseorang itu terbangun insaniahnya atau sebaliknya. Tidak ada jihad punahlah insaniahnya.
Jihad secara lahiriah semua sudah tahu iaitu membangun ekonomi Islam, membangun sistem hidup Islam, membangun pendidikan Islam, membangun kebudayaan Islam, membangun kesihatan Islam, berperang jika terpaksa dan lain-lain. Tetapi Rasulullah SAW sangat menekankan tentang adanya jihad yang batin, maknawi atau jihad melawan hawa nafsu. Ketika balik dari satu peperangan yang dahsyat melawan kaum musyrikin, Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :
Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar. Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah ? ” Baginda berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al Baihaqi)
Rasulullah mengajak kita untuk meninggalkan satu peperangan, satu perjuangan atau satu jihad yang kecil untuk dilatih melakukan satu perjuangan atau jihad yang besar iaitu jihad melawan nafsu. Orang yang berperang melawan nafsu ini nampak seperti duduk-duduk saja, tidaklah sesibuk orang lain, tapi sebenarnya sedang membuat kerja yang besar iaitu berjihad melawan nafsu.
Melawan hawa nafsu atau mujahadatun nafsi sangat susah. Mungkin kalau nafsu itu ada di luar jasad kita dan bisa kita pegang, mudahlah kita menekan dan membunuhnya sampai mati. Tetapi nafsu kita itu ada di dalam diri kita, mengalir bersama aliran darah dan menguasai seluruh tubuh kita. Karena itu tanpa kesedaran dan kemahuan yang sungguh-sungguh kita pasti dikalahkan untuk diperalat sekehendaknya.
Nafsu jahat dapat dikenal melalui sifat keji dan kotor yang ada pada manusia. Dalam ilmu tasawuf, nafsu jahat dan liar itu dikatakan sifat mazmumah. Di antara sifat-sifat mazmumah itu ialah sum’ah, riya’, ujub, cinta dunia, gila pangkat, gila harta, banyak bicara, banyak makan, hasad, dengki, ego, dendam, buruk sangka, mementingkan diri sendiri, pemarah, tamak, serakah, bakhil, sombong dan lain-lain. Sifat-sifat itu melekat pada hati seperti daki melekat pada badan. Kalau kita malas menggosok sifat itu akan semakin kuat dan menebal pada hati kita. Sebaliknya kalau kita rajin meneliti dan kuat menggosoknya maka hati akan bersih dan jiwa akan suci.
Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi seseorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah ‘highway’ atau jalan bebas hambatan untuk syaitan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah ‘highway’ syaitan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh ALLAH sangat jahat.
” Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan “
(Yusuf: 53)

Dan ini dikuatkan lagi oleh sabda Rasulullah; “Musuh yang paling memusuhi kamu adalah nafsu yang ada di antara dua lambungmu “.
Nafsu inilah yang menjadi penghalang utama dan pertama, kemudian barulah syaitan dan golongan-golongan yang lain. Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada memerangi Yahudi dan Nasrani atau orang kafir. Sebab berperang dengan orang kafir cuma sekali-sekali.
Nafsulah penghalang yang paling jahat. Mengapa? Kalaulah musuh dalam selimut, itu mudah dan dapat kita hadapi. Tetapi nafsu adalah sebahagian dari badan kita. Tidak sempurna diri kita jika tidak ada nafsu. Ini yang disebut musuh dalam diri. Sebahagian diri kita, memusuhi kita. Ia adalah jizmullatif – tubuh yang halus yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala, hanya dapat dirasa oleh mata otak (akal) atau mata hati. Oleh itu tidak dapat kita buang. Sekiranya dibuang kita pasti mati.
Nafsu adalah penghalang yang besar. Kalau hendak solat bukan mudah untuk mujahadah. Akhirnya terlambat solat subuh. Siapa yang membisikkan kepada kita? Itulah nafsu. Bukan mudah hendak berjuang dan berkorban. Bukan mudah hendak sabar apabila berhadapan dengan ujian. Bukan mudah untuk sabar, tidak berdendam dan membalas kejahatan musuh dengan doa dan kebaikan. Bukan mudah sebab nafsu tidak mahu. Begitu juga tidak mudah untuk menahan marah dan hendak memberi maaf orang yang berbuat salah dengan kita? Kita rasa terhina hendak memaafkan orang yang bersalah dengan kita. Lebih-lebih lagi kita yang bersalah, hendak minta maaf lebih sukar lagi. Terasa tergugat ego kita. Lebih-lebih bila ada jabatan dan pengaruh. Bukan mudah untuk ikut syariat, jika nafsu mengatakan jangan. Sebab itu barang siapa yang berjaya melawan hawa nafsu ia dianggap wira, hero atau pahlawan. Dianggap orang berani dan luar biasa. Sebab itu ada Hadis yang mengatakan;
“Tidak dianggap seseorang itu berani bila ia dapat mengalahkan musuhnya, tetapi dianggap berani, jika seseorang itu dapat melawan hawa nafsunya.
” Bukannya seperti yang terjadi hari ini, gelar “Tokoh” atau “wira” yang dikurniakan kepada seseorang, bila kita tinjau kehidupan mereka, kebanyakan mereka yang sudah dikalahkan oleh hawa nafsu. Itulah wira yang palsu. Wira yang sebenarnya wira ialah orang yang dapat mengalahkan hawa nafsunya. Inilah yang dikatakan pejuang yang hakiki. Selama hawa nafsu tidak dapat diperangi selama itulah seseorang tidak akan tertuju kepada ALLAH. Tidak akan dapat benar-benar berkhidmat kepada ALLAH. Tidak akan jatuh cinta dengan ALLAH. Tidak akan memberi ketaatan yang sesungguhnya kepada ALLAH. Kalau nafsu tidak diperangi, tidak akan dapat hidup dalam kebenaran. Hidup dalam pimpinan ALLAH. Firman Allah dalam Al Qur’an maksudnya :
“Mereka yang berjuang untuk melawan hawa nafsu karena hendak menempuh jalan Kami, sesungguhnya Kami akan tunjuki jalan Kami. Sesungguhnya ALLAH itu beserta dengan orang yang buat baik”.
Ini jaminan dari Allah. Siapa sanggup melawan hawa nafsu, Allah akan tunjukkan satu jalan hingga diberi kemenangan, diberi bantuan dan tertuju ke jalan yang benar. Inilah rahsia untuk mendapat pembelaan dari Allah.
Ertinya mereka mendapat pembelaan dari Allah sejak di dunia. Jadi siapa saja yang sanggup melawan hawa nafsu, dia adalah rijalullah (orang Allah, keluarga Allah, kepunyaan Allah, tentera Allah) Siapa yang menjadi kepunyaan Allah atau tentera Allah, dia akan dibantu oleh Allah. Tapi selama belum menjadi tentara Allah, sebaliknya menjadi tentera manusia atau tentera syaitan, Allah akan biarkan. Kalau diberi kemenangan, atas dasar kuat, bukan atas dasar bantuan. Manakala yang lemah akan diberi kekalahan.
Jadi seseorang itu mesti sanggup melawan hawa nafsu. Kalau tidak, banyak ajaran Islam yang terabaikan, banyak perintah ALLAH yang dilalaikan. Bila tidak dapat melawan hawa nafsu, banyak larangan ALLAH yang akan terbuat. Jadi hanya dengan melakukan mujahadatunnafsi, barulah ajaran Islam itu dapat kita amalkan sungguh-sungguh dan barulah maksiat lahir dan batin dapat kita tinggalkan, karena nafsu yang sangat menghalang itu sudah tidak ada lagi. Nafsu itu sudah kita didik, sudah kita kalahkan, dan sudah menjadi tawanan kita. 

Sumber: http://jalanakhirat.wordpress.com

Mandi-mandi yang disunatkan


Islam agama yang mencintai kebersihan bagi umatnya, bukan hanya kebersihan rohani akan tetapi kebersihan jasmani pula. Oleh karena itu selain mewajibkan mandi dan membersihkan diri pada saat-saat tertentu syari’at agama kita juga menganjurkan mandi pada waktu-waktu tertentu sebagai berikut:
  1. Mandi pada hari Jum’at. Hal ini didasari atas hadits Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Barang siapa di antara kalian akan menghadiri solat Jum’at mandilah”. Sebagian ulama memahami dari hadits ini bahwa mandi sebelum pergi untuk solat Jum’at hukumnya wajib. Ditambah dengan hadits lain yang secara jelas menyatakan wajib mandi pada hari Jum’at: “Mandi hari Jum’at menjadi kewajiban bagi setiap orang yang sudah dewasa”. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan mayoritas ulama termasuk mazhab Maliki mandi hari Jum’at hukumnya sunat. Alasan para ulama ini ialah beberapa hadits shohih antara lain: “Barang siapa berwudhu pada hari Jum’at baginya sudah cukup dan baik, tapi barang siapa yang mandi maka mandi lebih utama”. Menurut Imam Nawawi hadits ini shohih. Selain hadits di atas Rasulullah s.a.w. pula bersabda: “Alangkah baiknya jika kalian mandi pada hari Jum’at”. Dari beberapa hadits di atas yang menganjurkan mandi pada hari Jum’at dipahami bahwa perintah mandi menunjukkan kepada anjuran sedangkan kata-kata “wajib” menunjukkan kepada “ta’kid” atau penekanan. Dengan demikian untuk menerima beberapa hadits tentang mandi pada hari Jum’at yang nampaknya berbeda-beda ini dapat disimpulkan bahwa hukum mandi pada hari Jum’at ialah sunat muakkad. Sedangkan waktu mandinya ialah antara subuh hingga saat menjelang pergi ke masjid. Dan lebih dianjurkan pelaksanaan mandinya sesaat menjelang pergi ke masjid, karena salah satu tujuan dari mandi ini ialah menghilangkan kotoran dan aroma tidak sedap dari badan sebelum berada di antara jemaah solat Jum’at.
  2. Mandi pada dua hari raya, yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adhha. Hal ini didasari atas hadits dari Ibnu Abbas ia berkata: “Adalah Rasulullah s.a.w. mandi pada hari ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adhha”. Demikian pula Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Umar mengerjakannya karena pada hari itu berkumpulnya kaum muslimin untuk melaksanakan sholat ‘ied seperti pada hari Jum’at. Sedangkan waktunya setelah pertengahan malam, dan yang lebih baik pada saat menjelang kepergian ke tempat sholat ‘ied.
  3. Mandi ketika akan melaksanakan sholat Istisqo’, karena sholat Istisqo’ ini dilaksanakan secara berjamaah maka disunatkan mandi untuk menghilangkan aroma tidak sedap dari badan sebagaimana tujuan disunatkannya mandi pada hari Jum’at.
  4. Mandi ketika akan melaksanakn sholat gerhana matahari atau gerhana bulan, karena sholatnya dilaksanakan secara berjamaah maka disunatkan mandi agar badan bersih dari aroma yang tidak sedap sebagaimana pada hari Jum’at.
  5. Mandi bagi orang yang selesai memandikan janazah. Hal ini didasari atas sebuah hadits di mana Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barang siapa memandikan jenazah hendaklah dia mandi, dan barang siapa membawa jenazah hendaklah dia berwudhu”. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal hadits ini adalah perkataan Abu Hurairah. Imam Syafi’i berkata: “Apabila hadits ini shohih sebagai ucapan Rasulullah s.a.w. maka saya berpendapat bahwa mandi ini hukumnya wajib”.
  6. Mandi seorang yang baru masuk Islam. Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah s.a.w. memerintahkan Qais bin ‘Ashim dan Tsumamah bin Atsal untuk mandi ketika keduanya masuk Islam. Mandi ini tidak wajib karena saat itu orang-orang yang menyatakan dirinya masuk Islam tidak semuanya diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. untuk mandi. Selain itu, menyatakan diri masuk agama Islam adalah pertobatan dari perbuatan maksiat maka tidak diwajibkan mandi sebagaimana orang yang tobat dari perbuatan maksiatnya. Hal ini jika yang bersangkutan tidak mengalami junub sebelumnya. Akan tetapi jika seseorang yang masuk Islam mengetahui bahwa dirinya telah mengalami junub maka ia wajib mandi setelah memeluk agama Islam.
  7. Mandi seseorang yang baru sembuh dari sakit gila atau pingsan.
  8. Mandi seseorang yang akan mengenakan pakaian ihrom. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwasanya Zaid bin Tsabit berkata: “Adalah Rasulullah s.a.w. melepaskan pakaian biasanya untuk mengenakan ihram dan mandi”. Hukum ini berlaku bagi siapa saja yang akan mengenakan ihrom, baik laki-laki dewasa maupun anak-anak, bahkan wanita sekalipun dia dalam keadaan berhalangan (haid atau nifas). Ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya Asma binti ‘Umais istri Abu Bakar Shiddiq ketika tiba di Zulhulaifah (miqat penduduk kota Madinah) melahirkan maka Rasulullah s.a.w. memerintahkannya untuk mandi sebelum mengenakan ihrom.
  9. Mandi seseorang yang akan memasuki kota Mekkah. Ini berdasarkan perbuatan Abdullah bin Umar bahwasanya beliau tidak memasuki kota Mekkah kecuali terlebih dahulu bermalam di Dzi Thuwa, pada pagi harinya beliau mandi kemudian masuk ke kota Mekkah pada siang hari. Beliau menyebutkan bahwasanya yang seperti itu dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. (HR. Bukhari dan Muslim)
  10. Mandi seseorang yang akan melaksanakan wuquf di Arafah. Karena hari Arafah merupakan hari berkumpulnya kaum muslimin yang melaksanakan ibadah haji maka dianjurkan mandi untuk menghilangkan bau tidak sedap dari badan. Abdulllah bin Umar melakukannya, dan diriwayatkan Rasulullah s.a.w melakukannya pula.
  11. Mandi seseorang yang akan melontar jumrah pada hari-hari tasyriq. Waktu mandinya ketika hendak melontar jumrah yaitu sesudah tergelincir matahari untuk menghilangkan aroma tidak sedap dari badan karena waktu melontar saat kaum muslimin yang melaksanakan ibadah haji berkumpul pada satu tempat, yaitu sekitar jumroh di bawah terik matahari. Sedangkan ketika hendak melontar jumroh aqobah pada tanggal 10 Dzulhijjah tidak disunatkan mandi karena menjelang wuquf tanggal 9 Dzulhijjjah sudah disunatkan mandi dan waktu antara melontar jumroh aqobah dengan wuquf berdekatan, jadi tidak diperlukan lagi mandi untuk menghilangkan aroma tidak sedap dari badan.
  12. Mandi seseorang yang akan melaksanakan thawaf di Ka’bah. Karena pada saat thawaf terjadi kepadatan di sekitar Ka’bah sehingga perlu pembersihan badan dari aroma tidak sedap.
  13. Mandi seseorang yang selesai dibekam, karena bekam membuat badan lemah dan mandi akan menyegarkannya.
  14. Mandi ketika hendak melaksanakan i’tikaf.
  15. Mandi ketika hendak memasuki kota Madinah.


Sumber  : http://www.wisatahati.com

Senin, 21 Maret 2011

Mempertajam Tawakkal



Dari Umar bin Khattab r.a. berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sekiranya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah swt. dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rezeki (oleh Allah swt.), sebagaimana seekor burung diberi rezeki; ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah)

Sekilas tentang Hadits

Hadits ini merupakan hadits marfu’ dari Umar bin Khattab r.a., yang diriwayatkan melalui jalur sanad Abdullah bin Hubairah, dari Abu Tamim Al-Jaisyani, dari Umar bin Khattab, dari Rasulullah saw., diriwayatkan oleh:

* Imam Turmudzi dalam Sunan/ Jami’nya, Kitab Al-Zuhud An Rasulillah saw., Bab Fi Attawakkal Alallahi, hadits no 2344.
* Imam Ibnu Majah dalam sunnannya, Kitab Al-Zuhud, Bab Attawakkal Wal Yaqin, hadits no 4164.
* Imam Ahmad bin Hambal dalam tiga tempat dalam musnadnya, yaitu pada hadits nomor 205, 372, dan 375.

Makna Hadits Secara Umum

Hadits di atas menjelaskan tentang hakekat tawakal dengan perumpamaan seekor burung. Dimana burung pergi (baca ; mencari karunia Allah) pada pagi hari dengan perut kosong karena lapar, namun di sore hari ia pulang dalam keadaan perut kenyang dan terisi penuh. Karena pada hakekatnya Allah swt.-lah yang memberikan rezekinya sesuai dengan kebutuhannya. Demikian juga manusia, sekiranya manusia benar-benar bertawakal kepada Allah swt. dengan mengamalkan hakekat tawakal yang sesungguhnya, tentulah Allah swt. akan memberikan rezeki sebagaimana seekor burung yang berangkat pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang. Artinya, insya Allah rezekinya akan Allah cukupi.

Makna dan Hakikat Tawakal

Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah swt.

Sedangkan dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, yang sesungguhnya memiliki muara yang sama. Di antara definisi mereka adalah:

1. Menurut Imam Ahmad bin Hambal.

Tawakal merupakan aktivitas hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi/ Tahdzib Madarijis Salikin, tt: 337)

2. Ibnu Qoyim al-Jauzi

“Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi/ Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254)

Sebagian ulama salafuna shaleh lainnya memberikan komentar beragam mengenai pernak pernik takawal, diantaranya adalah ungkapan: Jika dikatakan bahwa Dinul Islam secara umum meliputi dua aspek; yaitu al-isti’anah (meminta pertolongan Allah) dan al-inabah (taubat kepada Allah), maka tawakal merupakan setengah dari komponen Dinul Islam. Karena tawakal merupakan repleksi dari al-isti’anah (meminta pertolongan hanya kepada Allah swt.): Seseorang yang hanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah, menyandarkan dirinya hanya kepada-Nya, maka pada hakekatnya ia bertawakal kepada Allah.

Salafus saleh lainnya, Sahl bin Abdillah al-Tasattiri juga mengemukakan bahwa ‘ilmu merupakan jalan menuju penghambaan kepada Allah. Penghambaan merupakan jalan menuju kewara’an (sifat menjauhkan diri dari segala kemaksiatan). Kewaraan merupakan jalan menuju kezuhudan. Dan kezuhudan merupakan jalan menuju ketawakalan. (Al-Jauzi, tt : 336)

Tawakal sangat diperhatikan dalam Islam. Oleh karena itulah, banyak sekali ayat-ayat ataupun hadits-hadits yang memiliki muatan mengenai tawakal kepada Allah swt. Demikian juga para salafus shaleh, juga sangat memperhatikan masalah ini. Sehingga mereka memiliki ungkapan-ungkapan khusus mengenai tawakal.

Derajat Tawakal

Tawakal merupakan gabungan berbagai unsur yang menjadi satu, dimana tawakal tidak dapat terealisasikan tanpa adanya unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur ini juga merupakan derajat dari tawakal itu sendiri:

1. Ma’rifat kepada Allah swt. dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.

2. Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana dengan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.

3. Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu Allah swt. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya.

4. Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah swt., dan menjadikan situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah swt.

5. Husnudzan (baca: berbaik sangka) terhadap Allah swt. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.

6. Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah swt. Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.

7. Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah swt. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. (Ghaafir : 44)

Tawakal Dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan tawakal ini. Kita mendapatkan bahwa setidaknya terdapat 70 kali, kata tawakal disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an. Jika disimpulkan ayat-ayat tersebut mencakup tema berikut:

1. Tawakal merupakan perintah Allah swt.

“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 61). Lihat juga Ar-Ra’d: 123; Al-Furqaan: 58, Asy-Syu’araa: 217, An-Naml: 79, Al-Ahzab: 3 dan 48.

2. Larangan bertawakal selain kepada Allah (menjadikan selain Allah sebagai penolong) (Al-Isra: 2)

3. Orang yang beriman; hanya kepada Allah lah ia bertawakal (Ali Imran: 122). Lihat juga Ali Imran: 160, Al-Maidah: 11 dan 23, Al-A’raf: 89, Al-Anfal: 2, At-Taubah: 51, Al-Mujaadilah: 10, At-Taghabun: 13.

4. Tawakal harus senantiasa mengiringi suatu azam (baca: keingingan/ambisi positif yang kuat) (Ali Imran: 159)

5. Allah sebaik-baik tempat untuk menggantungkan tawakal (pelindung) (Ali Imran: 173). Lihat juga An-Nisa: 81, 109, 132, dan 171.

6. Akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan anugerah dari Allah (Al-Anfal: 49). Lihat juga Al-Isra: 65.

7. Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat (surga) (An-Nahl: 41-42). Lihat juga Al-Ankabut: 58-59.

8. Allah akan mencukupkan orang yang bertawakal kepada-Nya. (Ath-Thalaaq: 3)

Tawakal Dalam Hadits

Selain dalam Al-Qur’an, dalam hadits pun, tawakal memiliki porsi yang sangat banyak. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 11 hadits. Dalam kitab lain, sekitar 900-an hadits yang terdapat kata yang berasal dari kata tawakal –dari 9 kitab hadits induk, yaitu Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, Timidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Addarimi, Muwatha’ Malik dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal. Sebelas hadits yang dicantumkan Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin telah mencakup sebagian besar hadits-hadits tentang tawakal. Dari hadits-hadits tentang tawakal ini, kita dapat menyimpulkan beberapa poin:

1. Orang yang bertawakal hanya kepada Allah, akan masuk surga tanpa hisab.

Dalam hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Abdullah bin Abbas r.a., Rasulullah saw. bersabda: Telah ditunjukkan kepadaku keadaan umat yang dahulu, hingga saya melihat seorang nabi dengan rombongan yang kecil, dan ada nabi yang mempunyai pengikut satu dua orang, bahkan ada nabi yang tiada pengikutnya. Mendadak telihat padaku rombongan yang besar (yang banyak sekali), saya kira itu adalah umatku, namun diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah Nabi Musa a.s. beserta kaumnya. Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu, tiba-tiba di sana saya melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku, Itulah umatmu, dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu yang masuk surga tanpa perhingungan (hisab).

Setelah itu Nabi bangun dan masuk ke rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang membicarakan mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab itu. Ada yang berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Ada pula yang berpendapat, mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga pendapt-pendapat lain yang mereka sebut.

Kemudian Rasulullah saw. keluar menemui mereka dan bertanya, ‘Apakah yang sedang kalian bicarakan?’ Mereka memberitahukan segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda, ‘Mereka tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan burung, dan hanya kepada Rabb-nya lah, mereka bertawakal.”

Lalu bangunlah Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Ya Rasulullah saw., doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata, ‘Doakan saya juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Engkau telah didahului oleh Ukasyah.” (Bukhari & Muslim)

2. Tawakal merupakan sunnah Rasulullah saw.

Rasulullah saw. sendiri senantiasa menggantungkan tawakalnya kepada Allah swt. Salah satu contohnya adalah bahwa beliau selalu mengucapkan doa-doa mengenai ketawakalan dirinya kepada Allah swt.: Dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah saw. senantiasa berdoa, “Ya Allah, hanya kepada-Mu lah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mu lah aku beriman, hanya kepada-Mu lah aku bertawakal, hanya kepada-Mu lah aku bertaubat, hanya karena-Mu lah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah, aku berlindung dengan kemuliaan-Mu dimana tiada Tuhan selain Engkau, janganlah Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sedangkan jin dan manusia mati.” (Muslim)

3. Allah merupakan sebaik-baik tempat untuk bertawakal.

Dalam hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Ibnu Abbas r.a., “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim a.s. ketika dilempar ke dalam api, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad saw. ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (Bukhari)

4. Tawakal akan mendatangkan nasrullah.

Ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits no 5, dalam kitab Riyadhus Shalihin. Dimana dikisahkan pada saat Perang Dzatur-riqa’, ketika Rasulullah saw. sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat melindungimu dariku? Namun dengan sangat tenang Rasulullah saw menjawab, ‘Allah.’ Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah saw. mengambil pedang tersebut seraya bertanya, ‘Sekarang siapakah yang dapat melindungimu dariku?’

5. Tawakal yang benar tidak akan menjadikan seseorang kelaparan.

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Umar r.a., aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang.” (Tirmidzi)

6. Tawakal setelah usaha.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan: Dari Anas bin Malik r.a., ada seseorang berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah saw., aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?” Rasulullah saw. menjawab, “Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)

Tawakal yang merupakan perintah Allah dan sunnah Rasulullah saw., jika dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan tidak memiliki apa-apa. Karena tawakal tidak identik dengan kepasrahan yang tidak beralasan. Namun tawakal harus didahului dengan usaha yang maksimal. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakikat dari tawakal itu.

Sumber: http://www.dakwatuna.com

Peran Wanita sebagai Istri Idaman



Sungguh kaum wanita telah melewati suatu masa yang mana mereka ditempatkan pada posisi yang tidak layak, tidak proporsional dan sangat memilukan, tidak ada perlindungan bagi mereka, hak-hak mereka dihancurkan, kemauan mereka dirampas, jiwa mereka dibelenggu, bahkan saat itu mereka berada pada posisi yang amat rendah dan hina.

Pada zaman Romawi seorang suami bisa menetapkan hukuman mati kepada istrinya jika suaminya menghendaki, bangsa Romawi menganggap bahwa wanita adalah sama dengan harta dan perabot rumah tangga, sementara bangsa Yahudi menganggap wanita adalah najis atau kotor, dan yang lebih buruk lagi adalah sikap orang Nashrani yang mempertanyakan keberadaan wanita, apakah wanita itu manusia yang memiliki jiwa atau tidak?! Yang pada akhirnya perlakuan buruk ini mencapai puncaknya dengan menganggap wanita sebagai sumber keburukan, di mana wanita dikubur hidup-hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa Arab Jahiliah.

Setelah melalui berbagai macam kebiadaban dan perlakuan pahit sepanjang masa, muncullah cahaya Islam yang menempatkan wanita pada posisi yang adil untuk melindungi kehormatan mereka. Islam memberikan hak-hak wanita secara sempurna tanpa dikurangi, juga meninggikan derajat wanita yang masa sebelumnya mereka dihinakan dan direndahkan sepanjang sejarah. Islam memproklamirkan bahwa wanita adalah manusia sempurna, memberikan hak-haknya secara wajar dan manusiawi serta menjaga mereka agar tidak dijadikan pelampiasan syahwat belaka yang diperlakukan seperti binatang. Islam menjadikan wanita sebagai unsur yang memegang peranan penting dalam membangun masyarakat yang beradab.

Untuk mencapai tujuan itu, Islam menjadikan kasih sayang antara suami dan isteri sebagai penjaga kelangsungan hidup berumah tangga. Kecintaan dan kasih sayang seorang wanita kepada suaminya merupakan bukti adanya karakter yang kuat dari sifat alamiah yang ada pada dirinya, sehingga hal itu akan menghindarkan dirinya dari berselingkuh atau mencari perhatian laki-laki lain.

Diantara kebahagian seorang suami adalah dikaruniainya isteri yang shalehah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Dan di antara kebahagiaan adalah wanita shalehah, jika engkau meman-dangnya maka engkau kagum kepadanya, dan jika engkau pergi darinya (tidak berada di sisinya) engkau akan merasa aman atas dirinya dan hartamu. Dan di antara kesengsaraan adalah wanita yang apabila engkau memandangnya engkau merasa enggan, lalu dia melontarkan kata-kata kotor kepadamu, dan jika engkau pergi darinya engkau tidak merasa aman atas dirinya dan hartamu.” (HR. Ibnu Hibban dan lainnya dalam As-Silsilah ash-Shahihah hadits 282)

Dalam sabdanya yang lain:
“Dan isteri shalehah yang menolongmu atas persoalan dunia dan agamamu adalah sebaik-sebaik (harta) yang disimpan manusia.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Shahihul jami’ 4285)

Oleh karena itu isteri shalehah adalah idaman bagi setiap suami shaleh di setiap waktu dan tempat. Isteri idaman dia adalah wanita mukminah, wanita shalehah yang jiwanya sebagai cerminan ilmu syar’i yang hanif, aqidahnya murni, akhlaknya agung, dan perangainya baik, untuk mendapatkannya harus diperhatikan hal-hal berikut:

CARA MEMILIH ISTRI IDAMAN

• Memilih wanita karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: Hartanya, keturunannya, kecantikan-nya dan agamanya. Maka hendaknya engkau utamakan wanita yang memiliki agama, (jika tidak) niscaya kedua tangan-mu akan berdebu (miskin merana).” (HR.Al-Bukhari, Fathul Bari 9/132)

Dengan memilih wanita yang berasal dari lingkungan yang baik dan karakter yang benar-benar shalehah maka akan menghasilkan ketenangan dalam hidup berumah tangga. Karena adat kebiasaan dan gaya hidup suatu kaum sangat berpengaruh terhadap kepribadiannya.

• Diutamakan yang gadis sebagai-mana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“(Nikahilah)gadis-gadis sesungguhnya mereka lebih banyak keturunannya, lebih manis tutur katanya dan lebih menerima dengan sedikit(qanaah). dan dalam riwayat lain “Lebih sedikit tipu dayanya”. (HR.Ibnu Majah No.1816 dan dalam As Silsilah ash Shahihah , hadits No.623)

• Diutamakan wanita yang subur atau tidak mandul, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Kawinilah wanita yang penuh cinta dan yang subur peranakannya. Sesung-guhnya aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian di antara para nabi pada hari kiamat.” (HR. Imam Ahmad 3/245 dari Anas, dikatakan dalam Irwaul Ghalil hadits ini shahih)

AQIDAH ISTRI IDAMAN

Seorang isteri idaman harus memahami arti pentingnya aqidah islamiyah yang shahihah, karena sah tidaknya suatu amal tergantung kepada benar dan tidaknya aqidah seseorang. Isteri idaman adalah sosok yang selalu bersemangat dalam menuntut ilmu agama sehingga dia dapat mengetahui ilmu-ilmu syar’i baik yang berhubungan dengan aqidah, akhlak maupun dalam hal muamalah sebagaimana semangatnya para shahabiyah dalam menuntut ilmu agama Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menghilangkan kebodohan mereka dan beribadah kepada Allah di atas cahaya ilmu, sebagaimana riwayat dibawah ini:

Dari Abu Said Al Khudri dia berkata: Pernah suatu kali para wanita berkata kepada Rasulullah n: “Kaum laki-laki telah mengalahkan kami, maka jadikanlah satu hari untuk kami, Nabi pun menjanjikan satu hari dapat bertemu dengan mereka, kemudian Nabi memberi nasehat dan perintah kepada mereka. Salah satu ucapan beliau kepada mereka adalah: “Tidaklah seorang wanita di antara kalian yang ditinggal mati tiga anaknya, kecuali mereka sebagai penghalang baginya dari api nereka. Seorang wanita bertanya: “Bagaimana kalau hanya dua?” Beliau menjawab: “Juga dua.” (HR. Al-Bukhari No 1010)

Seorang isteri yang aqidahnya benar akan tercermin dalam tingkah lakunya misalnya:

• Dia hanya bersahabat dengan wanita yang baik.
• Selalu bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Rabbnya.
• Bisa menjadi contoh bagi wanita lainnya.
Akhlak Isteri Idaman
• Berusaha berpegang teguh kepada akhlak-akhlak Islami yaitu: Ceria, pemalu, sabar, lembut tutur katanya dan selalu jujur.
• Tidak banyak bicara, tidak suka merusak wanita lain, tidak suka ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba).
• Selalu berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan isteri suaminya yang lain (madunya) jika suaminya mempunyai isteri lebih dari satu.
• Tidak menceritakan rahasia rumah tangga, diantaranya adalah hubungan suami isteri ataupun percekcokan dalam rumah tangga.

Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya di antara orang yang terburuk kedudukan-nya disisi Allah pada hari kiamat yaitu laki-laki yang mencumbui isterinya dan isteri mencumbui suaminya kemudian ia sebar luaskan rahasianya.” (HR. Muslim 4/157)

ISTRI IDAMAN DI RUMAH SUAMINYA

• Membantu suaminya dalam kebaikan. Merupakan kebaikan bagi seorang isteri bila mampu mendorong suaminya untuk berbuat baik, misalnya mendo-rong suaminya agar selalu ihsan dan berbakti kepada kedua orang tuanya, sebagaimana firman Allah: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah.” (Al Ahqaf 15)
• Membantunya dalam menjalin hubungan baik dengan saudara-saudaranya.
• Membantunya dalam ketaatan.
• Berdedikasi (semangat hidup) yang tinggi.
• Ekonomis dan pandai mengatur rumah tangga.
• Bagus didalam mendidik anak.
• Penampilan:

* Di dalam rumah, seorang isteri yang shalehah harus selalu memperhatikan penampilannya di rumah suaminya lebih-lebih jika suaminya berada di sisinya maka Islam sangat menganjurkan untuk berhias dengan hal-hal yang mubah sehingga menyenangkan hati suaminya.

* Jika keluar rumah, seorang isteri yang sholehah harus memperhati-kan hal-hal berikut:
o Harus minta izin suami.
o Harus menutup aurat dan tidak menampakkan perhiasannya.
o Tidak memakai wangi-wangian.
o Tidak banyak keluar kecuali untuk tujuan syar’i atau keperluan yang sangat mendesak.

Maraji’: Tarbiyatul Athfal fil Hadits Asy-Syarif, Khalid Ahmad Asy-Syanthot, Tarbiyatul Athfal fil Islam, Habsyi Fathullah Al-Hafnawiy

oleh: Ummu Ahmad – Al-Sofwah
Sumber: http://ayok.wordpress.com

Bila Surga Dan Neraka Tak Pernah Ada



Ikhlas menurut pandangan sufi: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada”
Beberapa tokoh sufi mencoba memisahkan makna ibadah antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf). Menurut mereka ibadah haruslah mengedepankan cinta (mahabbah) saja kepada Allah. Memiliki harapan akan surga dan takut karena neraka dinilai oleh para tokoh sufi tersebut mengotori dari keikhlasan dalam beribadah. Bahkan sering kita mendengar, bila surga dan neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Apakah kita berdosa bila menghendaki surga dan takut akan neraka? Apakah ibadah akan memiliki kecacatan bila kita mengharapkan pahala dari ibadah kita? Ujung-ujungnya adalah apakah kita masih dapat disebut ikhlas bila kita masih mengharapkan surga dan takut akan neraka ?

Jawabannya adalah dengan mencontoh junjungan kita Rasulullah SAW dalam berdoa
“Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” (HR. Al-Bukhari 2/102 dan Muslim 1/412. Lafazh hadits ini dalam riwayat Muslim.)

“Ya Allah! Aku mohon kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Hidup, wahai Tuhan yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka.” (HR. Seluruh penyusun As-Sunan. Lihat Shahih Ibnu Majah 2/329.)
Jelaslah bahwa Rasulullah mengajarkan kepada kita dalam beribadah selain mengedepankan cinta (mahabbah) namun tetap mengharapkan (raja’) surga, dan takut (khauf) agar dijauhkan dari siksa api neraka. Ketiganya (cinta, harapan, dan takut) tidak bisa dipisahkan dan dipilah-pilah dalam ibadah.

Seseorang yang memiliki rasa cinta yang tinggi kepada Allah akan melakukan seluruh syariat dengan hati yang ringan disertai luapan kalbu sebagai bukti akan kecintaannya kepada Allah. Seorang pecinta akan berhias dan berwangi dalam shalatnya melebihi pertemuan dengan orang yang paling ia cintai. Ia selalu menanti-nanti waktu shalat selanjutnya. Ia tetap memiliki pengharapan akan surga, karena hanya di surga kelak dia akan dapat memandang wajah Kekasihnya. Ia takut berada di neraka karena tak mungkin ia dapat hidup selama sedetikpun di sana. Neraka adalah tempat bagi umat yang banyak melanggar larangan-Nya, dan bukan tempat bagi umat yang mencintai Rabbnya dan selalu setia menjalankan syariat-Nya.
Tokoh sufi perempuan yang sangat dihormati seperti Rabiatul Adawiyah yang mengembangkan konsep cinta kepada Rabb, sering menangis karena Allah. Saat orang-orang bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Rabiatul Adawiyah menjawab, “Aku takut Allah akan berkata kepadaku disaat menghembus nafas terakhir : jauhkan dia dariKu karena dia tak layak berada di majlis-Ku”.

Lantas dimanakah tempat yang layak agar kelak kita dapat memandang Dzat-Nya yang indah kalau bukan di Surga-Nya? Dimanakah tempat yang tidak layak bagi Allah untuk menampakkan Dzat-Nya selain di Neraka ?

Memisah-misahkan antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf), terkadang kita perlukan untuk meningkatkan kesadaran rasa cinta kita kepada Allah jalla wa a’la. Terkadang kita membutuhkan syair-syair indah untuk meningkatkan kecintaan kepada Allah. Seperti kalimat: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya?”

Kalimat-kalimat indah tersebut berfungsi semacam shock terapi cinta kita kepada Tuhan yang wajib kita cintai melebihi apapun. Kalimat tersebut dapat mengingatkan kita bahwa konsep cinta (mahabah) pun penting dalam ibadah, bukan hanya harapan akan pahala dan rasa takut akan Neraka saja. Namun dalam beribadah yang lengkap dan sempurna, ketiga konsep, yaitu: cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf) tidak dapat dipisahkan. Jadi janganlah merasa ragu apakah amal ibadah kita masih bisa dikatagorikan ikhlas bila masih memiliki harapan akan surga dan rasa takut akan azab-Nya. Lengkapilah ibadah dengan cinta, harapan, dan rasa takut.

Beribadah tanpa cinta akan membuat ibadah Anda seperti “ibadahnya pedagang”, hanya mencari untung dan menjauhi kerugian. Ciri “ibadah pedagang”adalah bila keinginannya tak terpenuhi ia segera kecewa dan menganggap Tuhan tidak adil.

Beribadah dengan rasa takut saja (khauf) akan membuat Anda menjadi khawarij, yang beberapa sifatnya adalah: buruk sangka, mencela kaum muslim dengan sebutan kafir, berlebihan dalam ibadah, dan sesat sebagaimana pelaku pengeboman bunuh diri di Indonesia.

Beribadah dengan harapan (raja’) saja, akan membuat Anda menjadi murji’ah, yang berpendapat bahwa iman cukup di hati saja bukan perbuatan (shalat, zakat, dan lainnya).
(http://mutiaradibalikmusibah.blogspot.com)

Pacaran Menurut Kacamata Islam



Sebuah fitnah besar menimpa pemuda pemudi pada zaman sekarang. Mereka terbiasa melakukan perbuatan yang dianggap wajar padahal termasuk maksiat di sisi Alloh subhanahu wa ta’ala. Perbuatan tersebut adalah “pacaran”, yaitu hubungan pranikah antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Biasanya hal ini dilakukan oleh sesama teman sekelas atau sesama rekan kerja atau yang lainnya. Sangat disayangkan, perbuatan keji ini telah menjamur di masyarakat kita. Apalagi sebagian besar stasiun televisi banyak menayangkan sinetron tentang pacaran di sekolah maupun di kantor. Tentu hal ini sangat merusak moral kaum muslimin. Namun, anehnya, orang tua merasa bangga kalau anak perempuannya memiliki seorang pacar yang sering mengajak kencan. Ada juga yang melakukan pacaran beralasan untuk ta’aruf (berkenalan). Padahal perbuatan ini merupakan dosa dan amat buruk akibatnya. Oleh sebab itu, mengingat perbuatan haram ini sudah begitu memasyarakat, kami memandang perlu untuk membahasnya pada kesempatan ini.

Pacaran dari Sudut Pandang Islam

Pacaran tidak lepas dari tindakan menerjang larangan larangan Alloh subhanahu wa ta’ala. Fitnah ini bermula dari pandang memandang dengan lawan jenis kemudian timbul rasa cinta di hati—sebab itu, ada istilah “dari mata turun ke hati”— kemudian berusaha ingin memilikinya, entah itu dengan cara kirim SMS atau surat cinta, telepon, atau yang lainnya. Setelah itu, terjadilah saling bertemu dan bertatap muka, menyepi, dan saling bersentuhan sambil mengungkapkan rasa cinta dan sayang. Semua perbuatan tersebut dilarang dalam Islam karena merupakan jembatan dan sarana menuju perbuatan yang lebih keji, yaitu zina. Bahkan, boleh dikatakan, perbuatan itu seluruhnya tidak lepas dari zina. Perhatikanlah sabda Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam:

“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperolehnya hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, zinanya dengan memandang. Kedua telinga itu berzina, zinanya dengan mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya dengan berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan melangkah. Sementara itu, hati berkeinginan dan beranganangan sedangkan kemaluan yang membenarkan itu semua atau mendustakannya.” (H.R. Muslim: 2657, alBukhori: 6243)

Al Imam an Nawawi rahimahullah berkata: “Makna hadits di atas, pada anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan farji (kemaluan)nya ke dalam farji yang haram. Ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang wanita yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahromnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau melihat zina, atau menyentuh wanita yang bukan mahromnya, atau melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahromnya dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi.” (Syarah Shohih Muslim: 16/156157)

Adakah di antara mereka tatkala berpacaran dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah (bukan mahrom) atau lak-ilaki ajnabi (bukan mahrom) termasuk perbuatan yang diharamkan?!

Ta’aruf Dengan Pacaran, Bolehkah?

Banyak orang awam beranggapan bahwa pacaran adalah wasilah (sarana) untuk berta’aruf (berkenalan). Kata mereka, dengan berpacaran akan diketahui jati diri kedua ‘calon mempelai’ supaya nanti jika sudah menikah tidak kaget lagi dengan sikap keduanya dan bisa saling memahami karakter masing-masing. Demi Alloh, tidaklah anggapan ini dilontarkan melainkan oleh orang-orang yang terbawa arus budaya Barat dan hatinya sudah terjangkiti bisikan setan.

Tidakkah mereka menyadari bahwa yang namanya pacaran tentu tidak terlepas dari kholwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan ikhtilath (lakilaki dan perempuan bercampur baur tanpa ada hijab/tabir penghalang)?! Padahal semua itu telah dilarang dalam Islam.

Perhatikanlah tentang larangan tersebut sebagaimana tertuang dalam sabda Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam:

“Sekalikali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahromnya.” (H.R. alBukhori: 1862, Muslim: 1338)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa larangan bercampur baur dengan wanita yang bukan mahrom adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Fathul Bari: 4/100)

Oleh karena itu, kendati telah resmi melamar seorang wanita, seorang lakilaki tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan diterima pinangannya itu tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat menyurat, bebas bertelepon, bebas berSMS, bebas chatting, atau bercakap-cakap apa saja. Wanita tersebut

Adakah Pacaran Islami?

Ada lagi pemudapemudi aktivis organisasi Islam—yang katanya punya semangat terhadap Islam—disebabkan dangkalnya ilmu syar’i yang mereka miliki dan terpengaruh dengan budaya Barat yang sudah berkembang, mereka memunculkan istilah “pacaran islami” dalam pergaulan mereka. Mereka hendak tampil beda dengan pacaranpacaran orang awam. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegangpegangan. Masingmasing menjaga diri. Kalaupun saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang Islam, tentang dakwah, saling mengingatkan untuk beramal, dan berdzikir kepada Alloh q serta mengingatkan tentang akhirat, surga, dan neraka. Begitulah katanya!

Ketahuilah, pacaran yang diembelembeli Islam ala mereka tak ubahnya omong kosong belaka. Itu hanyalah makar iblis untuk menjerumuskan orang ke dalam neraka. Adakah mereka dapat menjaga pandangan mata dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah atau lakilaki ajnabi termasuk perbuatan yang diharamkan?! Camkanlah firman Alloh

“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada lakilaki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Dan katakanlah kepada wanitawanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka” …. (Q.S. anNur [24]: 3031)

Tidak tahukah mereka bahwa wanita merupakan fitnah yang terbesar bagi laki-laki? Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (H.R. al-Bukhori: 5096)

Segeralah Menikah Bila Sudah Mampu

Para pemuda yang sudah berkemampuan lahir dan batin diperintahkan agar segera menikah. Inilah solusi terbaik yang diberikan Islam karena dengan menikah seseorang akan terjaga jiwa dan agamanya. Akan tetapi, jika memang belum mampu maka hendaklah berpuasa, bukan berpacaran. Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu menikah maka segeralah menikah karena sesungguhnya menikah itu lebih menjaga kemaluan dan memelihara pandangan mata. Barang siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa karena puasa menjadi benteng (dari gejolak birahi).” (H.R. al-Bukhori: 5066)

Al-Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Yang dimaksud mampu menikah adalah mampu berkumpul dengan istri dan memiliki bekal untuk menikah.” (Fathul Bari: 9/136)

Dengan menikah segala kebaikan akan datang. Itulah pernyataan dari Alloh subhanahu wa ta’ala yang tertuang dalam Q.S. ar-Rum [30]: 21. Islam menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya tempat pelepasan hajat birahi manusia terhadap lawan jenisnya. Lebih dari itu, pernikahan sanggup memberikan jaminan dari ancaman kehancuran moral dan sosial. Itulah sebabnya Islam selalu mendorong dan memberikan berbagai kemudahan bagi manusia untuk segera melaksanakan kewajiban suci itu.

Nasihat

Janganlah ikut-ikutan budaya Barat yang sedang marak ini. Sebagai orang tua, jangan biarkan putra-putrimu terjerembab dalam fitnah pacaran ini. Jangan biarkan mereka keluar rumah dalam keadaan membuka aurat, tidak memakai jilbab, atau malah memakai baju ketat yang membuat pria terfitnah dengan penampilannya. Perhatikanlah firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. alAhzab [33]: 59)

Wallohu A’lam.

Sumber:
http://ratih1727.multiply.com/journal/item/288

Hikmah dalam Tawakkal



MENURUT bahasa “tawakkal” itu beerti berserah diri, mempercayakan diri atau mewakilkan. Menurut syariat pula tawakkal beerti “mempercayakan diri kepada Allah SWT dalam melaksanakan suatu rancangan, bersandar kepada kekuatan-Nya dalam melaksanakan suatu pekerjaan, berserah diri di bawah perlindungan-Nya pada waktu menghadapi kesukaran”.

Dengan pengertian tersebut dapatlah ditegaskan bahawa tawakkal itu berkaitan dengan suatu rencana yang tetap (keputusan) atau kemahuan (azam) yang disertai dengan ikhtiar melaksanakan rencana itu. Ikhtiar dilakukan dalam memenuhi tertib atau sunatullah sahaja. Namun keyakinan tetap bulat kepada Allah SWT.

Allah berfirman yang bermaksud:

“Adakanlah musyawarah dengan mereka dalam beberapa urusan, dan bila engkau telah mempunyai ketetapan hati, maka berserah dirilah kepada Allah.” (Surah Ali-Imran: 159)

Firman Allah SWT yang bermaksud:

“Berpalinglah dari mereka itu, dan berserah dirilah kepada Allah. Dan cukuplah Allah itu sebagai pelindung.” (Surah An-Nisa’: 81)

Berhubungan dengan perkaitan erat antara tawakkal dengan rencana yang matang (ketetapan hati) dan ikhtiar melaksanakan rencana itu, maka adalah sesuatu kekeliruan jika tawakkal itu diertikan sebagai berdiam diri tanpa ikhtiar sama sekali, misalnya mengharapkan sembuh dari penyakit tanpa berubat atau mengharapkan hidup makmur tanpa bekerja.

Banyak dalil dalam Al-Quran dan hadis yang menjelaskan pentingnya ikhtiar, usaha dan bekerja. Dalam berikhtiar itulah proses usaha dan redha menerima “buah” daripada pekerjaan itu, banyak ataupun sedikit. Suatu contoh digambarkan dalam suatu hadis:

“Telah datang kepada Rasulullah SAW seorang lelaki yang hendak meninggalkan unta yang dikendarainya terlepas begitu saja di pintu masjid, tanpa ditambatkan terlebih dulu. Dia bertanya: ‘Ya Rasulullah! Apakah unta itu saya tambatkan lebih dahulu kemudian saya tawakkal, atau saya lepaskan saja dan sesudah itu saya tawakkal? Rasulullah SAW menjawab: ‘Tambatkan lebih dahulu dan kemudian bertawakkallah engkau!” (Riwayat Tirmidzi)

Pernyataan Tawakkal

Tawakkal itu termasuk pekerjaan hati, terpaut di hati dalam menghadapi sesuatu persoalan atau pekerjaan, di mana manusia merasa bahawa dengan kekuatan sendiri tidak akan sanggup menghadapinya tanpa bersandar kepada kekuatan Allah SWT.

Apa yang terpaut dalam hati dengan keyakinan tersebut dipancarkan ke luar dengan mengucapkan ‘hasballah’ sebagai berikut:

Hasbi Allah wa ni’mal wakil
“Allah cukup bagiku dan Ia sebaik-baik Penjaga”

Demikian juga dengan lafaz-lafaz ‘hauqalah’:

Laa hawala walaa quawwata illa billaah
“Tiada daya upaya melainkan dengan kekuatan Allah”

Selain daripada itu dalam hadis ditemukan sejumlah doa dan zikir yang isinya mengandungi pernyataan tawakkal kepada Allah dalam menghadapi urusan penting dan keadaan genting.

Salah satu kaifiat tawakkal dalam menghadapi suatu rencana penting yang masih samar hasilnya, apakah kelak membahayakan ataukah menguntungkan dunia dan agama, ialah dengan cara solat istikharah, mengerjakan sembahyang dua rakaat kemudian mengucapkan doa istikharah, mohon kepada Allah agar dipilihkan dan ditakdirkan mana yang lebih baik dan bermanfaat bagi dunia dan agama kemudian redha menerima keputusan apa saja yang berkaitan dengannya.

Perintah Bertawakkal dan Bidang Penerapannya

*

Bertawakkal dalam segala urusan bukan hanya termasuk antara sikap rohani yang baik dan terpuji, bahkan ianya memang diperintahkan oleh Allah SWT. Tawakkal adalah satu manifestasi keyakinan kepada kekuasaan Allah SWT bahawa hanyalah Allah yan berkuasa berbuat sesuatu, sedangkan makhluk tidak berkuasa dan lemah sekali, di mana pada setiap ketika memerlukan pertolongan Allah SWT:

“Dan bertawakkallah engkau kepada Tuhan yang hidup, tiada mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya.” (Al-Furqan: 58)

Firman Allah yang bermaksud: “Dan kepada Allah-lah hendaknya berserah diri orang-orang yang beriman.” (Ibrahim: 11)

*

Penerapan tawakkal pada prinsipnya meliputi segala urusan dan pekerjaan yang baik dan segala keadaan yang sulit. Salah satu di antaranya ialah dalam melaksanakan sesuatu perancangan yang sudah matang dalam suatu usaha, pembangunan, perjuangan dan sebagainya. Apabila hati telah padu dan jitu dalam melakukan sesuatu, maka selainnya diserahkan kepada ketentuan Allah jua. Dia Yang Maha Berkehendak dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu:

“Apabila engkau telah mempunyai ketetapan hati (azam) maka bertawakkallah kepada Allah.” (Ali-Imran: 159)

Demikian juga dalam kegiatan ekonomi, berusaha mencari rezeki untuk memenuhi keperluan hidup hendaklah disertai pula dengan tawakkal, sesuai dengan pernyataan Al-Quran:

“Tiap-tiap yang melata di muka bumi ini sudah ditentukan Allah rezekinya. Dia mengetahui kediamannya dan tempat penyimpanannya.” (Hud: 6)

Sewaktu menghadapi musuh dalam peperangan, setelah mempersiapkan alat-alat perlengkapan perang, pengetahuan taktik dan strategi haruslah disertai dengan kekuatan mental, berupa tawakkal kepada Allah SWT. Di sebalik kekuatan alat-alat, otot dan otak harus dilandasi dengan kekuatan hati yang penuh tawakkal. Demikian sikap tawakkal ini telah dihayati oleh tentera Islam dalam peperangan-peperangan antara lain dalam perang Ahzab.

“Dan tatkala mukminin melihat golongan-golongan (masuk Islam) itu, mereka berkata: ‘Inilah dia apa yang dijanjikan kepada kita oleh Allah dan Rasul-Nya, dan benar Allah dan Rasul-Nya. Dan tiadalah menambah bagi mereka melainkan Iman dan penyerahan diri (kepada Allah).” (Al-Ahzab: 22)

Dalam bidang politik untuk mencapai kemenangan perjuangan Islam, umat Islam wajib berjuang mengatur pula politik dalam menghadapi lawan, seraya bertawakkal kepada Allah SWT:

“Dan jika mereka mahu menipumu, maka sesungguhnya cukuplah bagimu Allah. Ialah yang teguhkan dengan pertolongan-Nya dan dengan mukminin.” (Al-Anfal: 62)

Sewaktu menghadapi bencana dan bahaya yang akan menyerang diperlukan bertawakkal, seraya melakukan segala persiapan yang diperlukan untuk menolak bahaya itu. Misalnya ketika kaum muslimin di zaman Rasulullah dihasut untuk dihancurkan oleh tentera musuh yang besar jumlahnya. Mereka sedia bertempur seraya berkata: “Hasbunallah wa ni’mal wakill” (cukuplah bagi kami Allah SWT dan sebaik-baik Pemelihara).

Suatu contoh lagi di kala menjangkitnya wabak, di samping mengambil langkah-langkah pencegahan (tindakan berjaga-jaga) ia hendaklah disertai juga dengan tawakkal. Suatu peristiwa terjadi di zaman Khalifah Umar. Rombongan sahabat yang menuju Syam mendengar berita berjangkitnya wabak taun di negeri yang dituju itu. Dalam rombongan timbul dua pendapat, sebahagian ingin meneruskan perjalanan dan sebahagian lagi ingin pulang.

Umar bin Khattab memutuskan pulang. Tetapi timbul pertanyaan yang menentang: “Apakah anda akan melarikan diri dari takdir Allah SWT?” Umar menjawab: “Ya, lari dari takdir Tuhan kepada takdir Tuhan juga.” Diberikan perbandingan jika mempunyai ternakan di mana tersedia dua bahagian, yang satu kering dan yang lainnya subur, tentu saja lebih baik memilih bahagian yang subur. Perkara ini menunjukkan bahawa ikhtiar menghindari penyakit (tindakan berhati-hati) perlu dilakukan, seraya bertawakkallah kepada Allah. Pendapat Umar ini diperkuat oleh sabda Nabi yang disampaikan oleh Abdurrahman bin Auf:

“Apabila kamu mendengar penyakit berjangkit terjadi di suatu negeri, maka janganlah kamu datang ke tempat itu. Dan kalau kamu sedang berada dalam negeri yang tengah berjangkit penyakit menular itu, maka janganlah kamu keluar dari negeri itu, kerana hendak melarikan diri.” (Riwayat Bukhari)

Bertawakkal di kala menghadapi bahaya ditunjukkan pula oleh Nabi Ibrahim AS ketika akan dicampakkan ke dalam api oleh orang kafir, dengan membaca: “Hasbiyallahu wa ni’mal wakil.”

Dalam pada itu di kala hendak tidur, di mana seseorang akan kehilangan kekuatan dan tidak tahu apa yang akan terjadi sepanjang waktu tidur itu, maka hendaklah bertawakkal kepada Allah, mempercayakan diri dalam perlindungan-Nya, sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah SAW:

“Ya Allah, aku menyerahkan diri kepada-Mu, dan aku menyerahkan urusanku kepada-Mu, dan aku menyerahkan kekuatanku kepada-Mu, kerana takut dan cinta kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan tidak ada tempat lari daripada-Mu melainkan kepada-Mu. Aku percaya kepada kitab yang Engkau turunkan dan kepada Nabi yang Engkau utus.” (Riwayat Bukhari)

Bagi seseorang yang keluar rumah, maka banyak perkara yang akan ditemui dalam pelbagai urusan. Mungkin ada, yang menyenangkan dan ada pula yang menyusahkan, sebagai sebahagian daripada kehidupan. Sebagai makhluk yang dianugerahi fikiran, sebelum keluar rumah sebaiknya mempunyai pertimbangan, pemikiran dan rencana-rencana yang baik dan kemudian segala sesuatunya dipasrahkan kepada Allah SWT.

Selain ketenangan jiwa, maka tawakkal juga membuahkan sikap syaja’ah, keberanian. Terbukti ketika Rasulullah SAW diacukan dengan pedang oleh Da’tsur (pimpinan orang-orang kafir). Da’tsur menggertak Rasulullah SAW: “Siapakah yang dapat mencegah pedang ini terhadap engkau hai Muhammad?” Dengan sikap tawakkal Rasulullah SAW menjawab tenang: “Allah!” Pedang terjatuh dari tangan Da’tsur, dan tibalah giliran baginda mengambil pedang itu. Sikap tawakkalnya Rasulullah SAW melahirkan syaja’ah dan kemenangan di mana Da’tsur menyaksikan kehebatan Rasul Allah itu, lalu dia memeluk Islam bersama kaumnya.

Kemenangan yang gilang gemilang banyak kali digondol oleh umat Islam berkat tawakkal. mereka yang bertawakkal kepada Allah mempunyai iman yang jitu kepada kekuasaan-Nya. Ingatlah bahawa makhluk semuanya adalah ciptaan Allah SWT, mereka tidak boleh memberi manfaat dan tidak boleh mendatangkan mudarat. Semuanya ditangan Allah SWT. Mudarat dan manfaat dalam genggaman Allah jua. Walaupun semua manusia berkumpul untuk memberi manfaat kepada seseorang, tanpa izin Allah SWT, mereka tidak boleh berbuat yang sedemikian itu:

“Mereka yang hadapkan perkataan: ‘Sesungguhnya kaum (Quraisy) itu telah kumpulkan (tentera, bagi memerangi) kamu. Lantaran itu hendaklah kamu takut kepada mereka!’ Maka (perkataan) itu menambah iman mereka dan mereka berkata: ‘Allah cukup buat kami dan Ia sebaik-baik penjaga’. Maka kembalilah mereka dengan nikmat dan kurnia dari Allah tanpa ditimpa bencana.” (Ali-Imran: 173-174)

Dalam bidang pencarian rezeki (ekonomi), tawakkal kepada Allah, mendatangkan kecukupan dan rezeki yang tidak terduga-duga:

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, nescaya Ia jadikan baginya jalan keluar (dari kesulitan), dan akan diberikan rezeki dari jalan yang ia tidak duga-duga, kerana barangsiapa yang bertakwakkal kepada Allah, nescaya Ia jadi Pencukupnya. Sesungguhnya Allah itu telah adakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 2-3)

Dalam hubungan ini Rasulullah SAW pernah bersabda yang bermaksud:

“Andaikan kamu bertawakkal kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, nescaya Allah akan memberi rezeki kepadamu sebagaimana burung yang keluar pagi dengan perut kosong dan kembali di waktu senja hari dengan kenyang.” (Riwayat At-Tirmidzi)

Pada saat-saat yang berbahaya, di mana wang dan kawan tidak dapat lagi memberikan pertolongan, Allah dapat menolong dan menyelamatkan orang yang bertawakkal. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahawa Nabi pernah bersabda:

“Akhir kalimat yang diucapkan oleh Ibrahim ketika dicampakkan ke dalam api ialah: Hasbiallah wani’mal wakil.” (Riwayat Bukhari)

Allah SWT telah menyelamatkan Ibrahim, tidak sampai terbakar kerana api menjadi sejuk:

“Kami (Allah) berkata: ‘Hai api, jadilah sejuk dan sejahtera ke atas Ibrahim!” (Surah Al-Anbiya’: 69)

Demikianlah hikmat tawakkal yang menghasilkan pelbagai kebaikan seperti ketenangan, keberanian, kemenangan, pertolongan dan perlindungan Allah SWT yang membawa kepada keselamatan.
Sumber:
http://nurjeehan.wordpress.com

Fathimah : Buah Cinta Rasulullah Saw Sosok Sempurna Wanita Surga



Fathimah az Zahra adalah putri Nabi Muhammad saw., wanita yang paling
dikasihi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Rasulullah saw. bersabda,
“Fathimah adalah bagian dari diriku, siapa yang membuatnya marah,
berarti membuatku marah,” dan, “Niscaya Allah marah jika engkau
(Fathimah) marah, dan ridha atas keridhaanmu.”Fathimah,
selain berparas cantik (sehingga dijuluki ‘bidadari berwujud manusia’),
juga terkenal akan kecemerlangan pikiran dan kefasihannya. Ia juga
dijuluki sebagai Ummu Abiha (ibu dari ayahnya), karena perannya yang
begitu agung dalam kehidupan ayahanda tercintanya, Nabi Muhammad saw.
Singkatnya, Fathimah az Zahra adalah sosok wanita sempurna, baik
sebagai seorang anak, istri, ibu, maupun sebagai dirinya sendiri. Ia
adalah teladan bagi kaum wanita sepanjang masa.Mengapa Fathimah
bisa begitu dicintai Allah dan Rasul-Nya? Bagaimana ia meraih kedudukan
agungnya itu? Dalam buku ini, akan Anda temukan jawabannya. Buku ini
mengulas kehidupan mulia Fathimah az Zahra. Setiap aspek kehidupannya
benar-benar didalami, sehingga dengan membaca buku ini, niscaya kita
akan mampu meneladani sosok wanita sempurna itu.***Fathimah
az Zahra adalah seorang perempuan yang diciptakan Allah SWT untuk
menjadi sebuah tanda kekuatan-Nya yang menakjubkan dan tak tertandingi.
Allah Yang Mahaagung menganugerahi Fathimah limpahan keagungan yang
amat besar serta ketinggian derajat kemuliaan.Fathimah tumbuh
di rumah kenabian, di tengah limpahan kasih sayang Rasulullah saw. dan
Sayyidah Khadijah, membuatnya mampu meraih derajat tertinggi
kesempurnaan dan kecemerlangan. Allah SWT dan Rasul-Nya begitu
mencintai Fathimah. Beliau saw. bersabda, “Sesungguhnya putriku
Fathimah adalah penghulu kaum perempuan dari awal hingga akhir zaman.
Ia bagian dariku dan cahaya mataku; ia bunga hatiku dan ia adalah
jiwaku.”Ibunda Anas bin Malik berkata tentang Fathimah,
“Fathimah bak bulan di malam purnamanya, atau matahari yang tak
tersaput awan. Ia putih dengan sentuhan warna mawar di wajahnya.
Rambutnya hitam, dan ia bercirikan keelokan Rasulullah saw.” Rasulullah
saw. pun bersabda, “Fathimah adalah seorang bidadari berwujud manusia.
Kapan pun kurindukan surga, kucium dia.”Ketika Fathimah dibawa
ke rumah Ali pada malam (pesta) perkawinannya, Nabi Muhammad saw.
memimpin, Jibril di sisi kanannya, Mikail di sisi kirinya, dan 70 ribu
malaikat mengiringinya. Para malaikat ini memuja dan memuji Allah SWT
hingga fajar. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Jika Allah tidak
menciptakan Ali, tidak ada yang setara bagi Fathimah.”Sebaik-baik
wanita surga adalah: Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad,
Asiah binti Muzahim, dan Maryam binti ‘Imrân.- Rasulullah saw. Buku
yang ditulis oleh Abu Muhammad Ordoni ini bisa dikatakan yang
terlengkap (dalam bahasa Indonesia) berisi kisah lengkap perjalanan
hidup Fathimah.

Sumber:
http://id.shvoong.com/books/1781086-fathimah-buah-cinta-rasulullah-saw/

Waspadai Kebiasaan Berdusta




Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik terdapat sebuah dialog antara seorang sahabat dengan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Lengkapnya sebagai berikut:

و حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ أَنَّهُ قَالَ

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا

فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا فَقَالَ نَعَمْ

فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا فَقَالَ لَا

(MALIK - 1571) : Telah menceritakan kepadaku Malik dari Shafwan bin Sulaim berkata; "Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?" Beliau menjawab: 'Ya." Kemudian ditanya lagi; "Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?" Beliau menjawab: "Ya." Lalu ditanyakan lagi; "Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?" Beliau menjawab: "Tidak."

Berdasarkan hadits itu jelas bahwa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memaklumi jika seorang mukmin memiliki sifat sebagai penakut. Begitu pula Nabi shollallahu ’alaih wa sallam masih memaklumi jika seorang mukmin memiliki sifat bakhil. Namun Nabi shollallahu ’alaih wa sallam samasekali tidak membenarkan seorang mukmin menjadi seorang pembohong alias pendusta. Mengapa demikian?

Di dalam berbagai penjelasan –baik ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam- selalu saja sifat kaum munafiqun dikaitkan dengan kebiasaan berdusta. Berdusta merupakan trademark utama kaum munafiqun.

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ

وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS Al-Munafiqun ayat 1)

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ

كَانَ مُنَافِقًاأَوْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ

كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ

حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ

وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

(BUKHARI - 2279) : Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada empat hal yang bila ada pada seseorang berarti dia adalah munafiq atau siapa yang memiliki empat kebiasaan (tabi'at) berarti itu tabiat munafiq sampai dia meninggalkannya, yaitu jika berbicara dusta, jika berjanji ingkar, jika membuat kesepakatan khiyanat dan jika bertengkar (ada perselisihan) maka dia curang".

Oleh karenanya, sudah sepatutnya orang-orang beriman mewaspadai sifat dan kebiasaan berdusta. Karena jika seseorang sudah mulai terbiasa berdusta, maka ia akan distempel Allah menjadi seorang pendusta. Dan pada gilirannya hal ini bisa menceburkan dirinya ke dalam golongan kaum munafiqun. Dan sebaliknya, jika ia membiasakan diri untuk selalu berlaku benar atau jujur, niscaya ia akan dicap oleh Allah sebagai lelaki yang jujur, sehingga ia bakal digolongkan ke dalam kelompok orang beriman sejati.

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ

وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ

حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًاوَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ

وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ

وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

(BUKHARI - 5629) : Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Abu Wa`il dari Abdullah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang yang senantiasa berlaku jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta sehingga akan dicatat baginya sebagai seorang pendusta."

Saudaraku, dalam kehidupan modern dimana fitnah sedemikian mewabah, sangatlah sulit menemukan sifat jujur di tengah masyarakat. Sebaliknya, sangat mudah kita jumpai sifat berdusta di sekeliling kita. Sedemikian langkanya sifat jujur sehingga kita sering mendengar orang berkata: ”Mana bisa maju kalau kita berlaku jujur terus..... Sudahlah, bersikap realistik sajalah. Kita kadang-kala memang perlu berbohong...!” Malah, terkadang kita mendengar orang dengan yakinnya berkata: ”Hanya dengan berbohonglah kita bakal berhasil di dunia...!”

Orang yang hidup penuh dusta akan menjadi orang yang senantiasa dilanda keraguan. Sedangkan orang yang hidup selalu berlaku jujur pasti akan memiliki ketenteraman di dalam hatinya, walaupun ia berresiko dikucilkan. Demikianlah janji Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

(TIRMIDZI - 2442) : Dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam: "Tinggalkan yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu karena kejujuran itu ketenangan dan dusta itu keraguan."

Saudaraku, waspadailah kebiasaan berdusta yang menjadi ciri utama kaum munafiqun. Sebab inilah kelompok manusia yang paling merugi kelak. Mereka bukan saja bakal bernasib sama dengan kaum kafir, yaitu masuk ke dalam azab Allah neraka yang menyala-nyala. Tetapi mereka bahkan dimasukkan ke dalam neraka dengan berada di kapling paling berat siksanya. Dan mereka kekal di dalamnya, tanpa ada fihak yang bisa menolong.

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

”Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka” (QS An-Nisa ayat 145).
Sumber: http://www.eramuslim.com

MENCINTAIMU SEPENUH JIWA



"DAN UCAPKANLAH KEPADA IBU-BAPAKMU PERKATAAN YANG MULIA DAN RENDAHKANLAH DIRIMU TERHADAP KEDUANYA DENGAN PENUH KASIH SAYANG DAN DO'AKANLAH:' WAHAI ROBB-KU, KASIHANILAH KEDUANYA SEPERTI KEDUANYA TELAH MENDIDIK AKU DI WAKTU AKU KECIL'." (QS. AL ISRAA':23-24)

Do'a yang tertuang dalam cuplikan surat Al Isra' diatas, sudah teramat sering kita lafalkan. Bahkan mungkin sejak kita masih duduk si bangku Te-Ka sudah kita hafal di luar kepala. Bahkan karena hafalnya, sampai kita tidak mengetahui apa makna yang terkandung di dalamnya.

Dapatkah anda bayangkan betapa Ayah dan Ibu kita teramat sayang terhadap buah hatinya. Ketika dalam kandungan, kita sangat menyusahkan Ibu. Bisakah kita bayangkan betapa menderitanya Ibu ketika usia kandungannya sudah semakin tua dan beratnya pun bertambah-tambah ??

Dan ketika sang bayi ngotot untuk melongok dunia, sang Ibu harus meregang nyawa ! Dan ketika usia masih dalam hitungan bulan atau bahkan masih dalam hitungan hari (masih bayi) betapa seorang ibu teramat hati-hati merawat kita. Dengan segenap jiwanya, ia pertaruhkan hidupnya demi sang bayi mungil yang ternyata justru teramat sangat bandel. Jika tiba waktu malam, ketika sang Ibu lelah seharian merawat kita, dengan tanpa dosa kita akan pontang-panting pergi ke Dokter. Bayangkan, siang-malam kita menyusahkan mereka !!

Tapi adakah Ayah dan Ibu mengeluhkan hal itu ?? Sadari dan ingatlah, betapa sayangnya, betapa cinta dan kasih mereka pada kita. Semua derita mereka jalani dengan tabah dan kesadaran penuh, bahwa inilah kewajiban mereka, menjaga amanah dari Allah. Sakitnya seorang Ibu melahirkan akan lenyap ketika ia tahu bahwa bayinya selamat, dan kelelahan sang Ayah bekerja memenuhi kebutuhan anaknya, akan lenyap ketika ia mampu mengikuti perkembangan bayinya dari umur sehari hingga ia tumbuh menjadi manusia dewasa, dan mampu memenuhi semua kebutuhan anaknya. Dan kebahagiaan mereka berdua adalah ketika mereka mampu mendidik anaknya hingga anaknya menjadi anak yang berbakti pada agama dan pada kedua orang tuanya, mampu menghantarkan putra-putrinya ke jenjang kehidupan dimana peran orang tua tergantikan oleh pasangan hidupnya.

Dari uraian diatas, masihkah kita BERANI MEMBANTAH apa yang orang tua kita katakan kepada kita ?? Betapa kita telah menjadi anak durhaka jika kita mengatakan, "SIAPA TAKUT "?? (emangnya iklan shampo ?) pd orang tua kita ??

RasuluLLah SAW bersabda : "Maukah aku menunjukkan kepadamu dosa yang besar ? Yaitu menyekutukan Allah dan durhaka kepada orang tua "

Sekali-kali kalian jangan membuat mereka sakit hati ataupun sedih. Ingat, bahwa keridhoan Allah dalam keridhoan Ibu-Bapak dan kemurkaan-Nya dalam kemurkaan Ibu-Bapak. Selain itu, kita juga tahu bahwa do'a orang tua itu mustajab, bila mereka marah dan mendo'akan yang buruk untuk kita (walau di luar kesadarannya) maka, masa depan dunia akhirat kita terancam suram.

Lakukan apa yang mereka inginkan dari kita selagi tuntutan itu tidak keluar dari rel syari'at. Karena adalah hak mereka sebagai orang tua yang menginginkan anaknya menjadi seseorang seperti kehendak mereka. Dan adalah kewajiban kita sebagai anak memenuhi apa yang mereka inginkan. Kewajiban orang tua adalah memenuhi semua kebutuhan kita dan itu adalah hak kita untuk mendapatkan semua kebutuhan kita.

Sekarang setelah kita sadari hak dan kewajiban masing-masing, sudahkah kita lakukan kewajiban sebagai anak dan apakah hak-hak orang tua sudah kita penuhi ? Adakah terpercik setetes kasih di hati untuk mencintai mereka setulus mereka mencintai kita ? Terbayangkah di benak, bagaimana membalas semua yang telah mereka curahkan ?

Sebuah kisah di zaman RasuluLLah, Abu Darda berkata, ada seseorang yang datang kepadanya dan bercerita: "Ayahku selalu mengaturku, meskipun aku sudah dinikahkan. Dan kini beliau memerintahkan agar aku menceraikan istriku !". Kemudian Abu Darda menyampaikan apa yang didengarnya dari RasuluLLah kepada orang tua itu. RasuluLLah bersabda, "Ayah itu menduduki pertengahan pintu-pintu surga, maka peliharalah pintu itu kalau kalian mau, atau tinggalkanlah" .

Dari kisah diatas, kita tidak membeda-bedakan bakti pada Ayah saja dan Ibu saja, sebab keduanya sama-sama mencintai, menyayangi dan merawat tanpa minta pamrih apapun. Berbaktilah kepada kedua-duanya, memenuhi apa-apa yang menjadi hak mereka dan melaksanakan kewajiban kita sebagai anak mereka.

Mencintai mereka dengan segenap jiwa seperti mereka menyayangi dan merawat kita. Jadikan bakti pada orang tua sebagai refleksi ketaatan pada Allah Azza wa Jalla. Wallohu a'lam bish Showab.

Sumber:
http://muslimahrevolt.multiply.com

BERSYUKUR AWAL DARI KETENANGAN JIWA



Ketahuilah! Bahwa ketenangan itu tidak akan didapatkan sebelum benar–benar menikmati hidup ini. Merasakan bahwa hidup ini pasti ada arti dan makna. Rasakanlah bahwa hidup ini adalah Anugrah yang mencerminkan Kasih Sayang Allah.
Sebab permasalahan-permasalahan hidup yang dihadapi di dalam dunia ini hanyalah sebagai fase/tahapan–tahapan dari penampakan Ujud Tuhan. Ibarat seorang pembuat keris, ia akan membakar dan menempa besi kemudian di bentuk untuk menjadi sebuah keris yang indah. Begitu pula halnya manusia, ujian–ujian dan cobaan adalah merupakan tempaan–tempaan dari Allah sebagai tanda Cinta Kasih Nya. Kalau sudah begitu kenyataannya, mengapa kita tidak menerimanya dengan lapang dada?.
Allah SWT berfirman :
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS, Ibrahim : 7)
Terkadang banyak yang beranggapan bersyukur atas nikmat Allah itu adalah sebatas apa saja yang didapatkannya diluar dari dirinya. Padahal terlebih utama dan untuk pertama kalinya ia harus melihat kepada dirinya sendiri, bahwa apa–apa yang ada pada dirinya zahir dan batin adalah karunia dan nikmat Allah terbesar yang sudah sepantasnya tidak boleh dilupakannya begitu saja. Wajar saja jika Allah memberikan ujian dan cobaan kepadanya untuk mengingatkan hambanya bahwa Allah sangat dekat akan dirinya dengan sangat nyatanya dan sangat dekatnya nikmat Allah pada dirinya yang pada hakikatnya Allah meliputi dirinya zahir dan batin.
Sadarilah! Bahwa segala apa–apa yang ada pada diri kita adalah nikmat Allah. Nafas adalah nikmat Allah, penglihatan nikmat Allah, pendengaran nikmat Allah, penciuman nikmat Allah begitu pula darah yang selalu mengalir disekujur tubuh kita, jantung yang selalu memompanya juga nikmat Allah dan segala apa saja organ–organ tubuh yang bekerja semuanya adalah nikmat Allah, milik Allah, karena Allah dan dengan izin Allah semata.
Siapa saja yang mensyukurinya dengan keyakinan semua yang ada pada dirinya adalah karunia dan nikmat Allah terbesar sebagai landasan cinta kasih Allah kepadanya, maka sebagai penghargaan dari Allah Ia akan menambahkan nikmat Nya yang lain (yaitu karunia Allah yang datang dari luar dirinya, seperti rezeki, jodoh, kedudukan dll). Akan tetapi barang siapa yang lupa akan nikmat karunia Allah yang ada pada dirinya berarti sama halnya ia lupa akan Allah yang memberikan nikmat itu sebagai I’tibar (cerminan) adanya Allah dekat dan meliputi akan dirinya. Lalu bagi siapa yang lupa akan Allah, maka Allah akan menurunkan berbagai macam ujian dan cobaan kepadanya agar mereka bisa sadar dan kembali kepada kebenaran (Allah SWT). Kalau sudah begitu berarti ujian dan cobaan itupun termasuk nikmat Allah, karena datangnya ujian tersebut untuk mengingatkan hambanya agar hambanya menyadari bahwa Allah sayang kepadanya.
Allah SWT mengingatkan kita sampai 31 kali di dalam Firman Nya yang disebutkan di dalam surah Ar–Rahman :
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”.(QS,Arrahman:13,16,18,21,23,25,28,30,32,34,36,38,40,42,45,47,49,51,53,55,57,59,61,63,65,67,69,71,73,75,77)
Dan di dalam surah yang lain Allah berfirman :
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS, An – Nahl : 18)
Sungguh sangat banyaknya nikmat karunia Allah yang sudah diberikan Nya kepada kita, sampai–sampai kita tidak akan sanggup untuk menghitungnya. Karena itu Allah memerintahkan kita untuk membaca surah Al–Fatihah berulang kali di setiap kita Shalat dan termasuk salah satu Rukun Shalat yang apabila tidak membaca surah Al – Fatihah maka batal lah Shalatnya. “Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin”. (Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam). Adalah suatu ungkapan yang menjelaskan bahwa apa saja yang ada di seluruh Jagad Raya ini dan apa saja yang ada pada diri kita hendaklah kita sadari semuanya itu adalah nikmat Allah SWT.
Itulah salah satu Rahasia ke Agungan dan Kebesaran Allah tentang di balik ujian dan cobaan. Karena itu syukurilah dengan harapan agar dimantapkan Iman dan Keyakinan serta dibukakan ketentraman dan ketenangan Jiwa. Hidup ini akan nampak indah jika kita mau menerimanya dengan lapang dada apa saja yang datang pada diri kita adalah sebagai bukti Kasih Sayang Allah SWT.
Apabila Allah mendatangkan suatu ujian, tentu itu menurut kadar kemampuan hamba Nya. Tidak akan mungkin Allah menurunkan ujian yang hamba Nya sendiri tidak sanggup untuk memikulnya. Kalaupun kita merasa berat dengan suatu ujian yang didatangkan Allah seolah–olah kita tidak sanggup untuk memikulnya, itu dikarenakan bukan kita tidak mampu untuk memikulnya melainkan karena kurangnya pengetahuan untuk menghadapi ujian tersebut.
Oleh sebab itu menuntut ilmu hukumnya wajib, agar kita mengerti tentang hakikat dari pada ujian–ujian Allah yang datang kepada kita. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda : yang artinya “telah diwajibkan atas kalian menuntut ilmu baik muslim laki–laki maupun muslim perempuan”.

Sumber:
http://pengembarajiwa.wordpress.com