Jumat, 08 Juli 2011

Marhaban Ya Ramadhan!


Bulan Ramadhan telah datang. Bulan yang oleh Allah subhanahu wata'ala dihimpun di dalamnya rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan itqun minan naar (terselamatkan dari api neraka). Bulan Ramadhan juga disebut dengan "shahrul Qur'an", bulan diturunkannya al-Qur'an yang merupakan lentera hidayah ketuhanan yang sangat dibutuhkan umat manusia dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat.
Melalui puasa Ramadhan, Allah SWT menguji hamba-Nya untuk mengendalikan nafsu dan perutnya, serta memberikan kesempatan kepada kalbu untuk menembus wahana kesucian dan dan kejernihan rabbani. Puasa Ramadhan merupakan pokok pembinaan iman Islami, untuk menyempurnakan amal ibadah, untuk mendapatkan maghfirah (ampunan) dan ridlwan (keridlaaan) dari Allah Yang Maha Agung.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah SWT mengistemewakan bulan Ramadhan di atas bulan-bulan lainnya dengan menurunkan Al-Qur'an di dalamnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat mashur juga dikatakan bahwa kitab-kitab suci yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu juga diturunkan pada bulan Ramadhan. Kitab nabi Ibrahim (suhuf) diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, kitab Zabur diturunkan kepada nabi Dawud pada malam kedua belas bulan Ramadhan, kitab Taurat diturunkan kepada nabi Musa pada malam keenam bulan Ramadhan dan kitab Injil kepada nabi Isa diturunkan pada malam ketiga belas bulan Ramadhan. Kitab-kitab tersebut merupakan petunjuk bagi umat manusia ke jalan yang benar dan penyelamat dari jalan yang sesat. Maka bulan Ramadhan dalam sejarahnya merupakan bulan dimulainya gerakan membasmi kemusyrikan di muka bumi, menghancurkan kekufuran, menepis kedengkian,  melawan kebatilan dan kemungkaran, hawa nafsu serta kesombongan.
Ramadhan pada masa ini merupakan media utama pembinaan iman seorang mukmin, melalui ibadah puasa yang mempunyai dimensi pelatihan fisik (jasadiyah) dan metafisik (ruhiyah) yang diharapkan akan mengantarkannya menjadi seorang muslim yang sempurna. Firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah: 183-185, kutiba alaikumush shiyam (telah difardhukan puasa atasmu), dan faman syahida min kumusy syahra fal yashum (maka barangsiapa di antara kamu menyaksikan hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah), merupakan dalil pokok bagi kewajiban berpuasa.
Puasa Ramadhan juga merupakan pengendalian diri dari hegemoni nafsu syahwat dan pemisahan diri dari kebiasaan buruk dan maksiat, sehingga memudahkan bagi seorang hamba untuk menerima pancaran cahaya ilahiyah. Fakhruddin al-Razi menjelaskan dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib, bahwa cahaya ketuhanan tak pernah redup dan sirna, namun nafsu syahwat kemanusiaan sering menghalanginya untuk tetap menyinari sanubari manusia, puasa merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan penghalang tersebut. Oleh karena itu pintu-pintu mukashafah (keterbukaan) ruhani tidak ada yang mampu membukanya kecuali dengan puasa.
Imam Al-Ghazali menerangkan bahwa puasa adalah seperempat iman, berdasar hadis Nabi: Ash shaumu nisfush shabri, dan hadis Nabi saw: Ash Shabru Nisful Iman. Puasa itu seperdua sabar, dan sabar itu seperdua iman. Dan puasa itu juga ibadah yang mempuyai posisi istimewa di mata Allah. Allah berfirman dalam hadis Qudsi: "Tiap-tiap kebajikan dibalas dengan sepuluh kalilipat, hingga 700 kali lipat, kecuali puasa, ia untuk-Ku, Aku sendiri yang akan membalasnya".
Imam Ghozali juga menjelaskan bahwa puasa mempunyai tiga tingkatan. Pertama puasa kalangan umum, yaitu menjaga perut dan alat kelamin dari memenuhi shawatnya sesuai aturan yang ditentukan. Kedua adalah puasa kalangan khusus, yaitu selain puasa umum tadi dengan disertai menjaga pendengaran, penglihatan, mulut, tangan dan kaki serta seluruh anggota tubuh lainnya dari perbuatan maksiat. Ketiga, yang paling tinggi, adalah puasa kalangan khususnya khusus, yaitu puasa dengan menjaga hati dan pemikiran dari noda-noda hati yang hina dan dari hembusan pemikiran duniawi yang sesat serta memfokuskan keduanya hanya kepada Allah. Inilah puncak kontemplasi hamba dengan Allah SWT.
Marilah kita bersiap-siap memasuki bulan Ramadhan ini dengan kesiapan diri yang prima, dengan perasaan yang tulus ikhlas untuk menjalankan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan. Marilah kita mantapkan hati dan jiwa kita dalam memperoleh kemuliaan puasa Ramadhan, sehingga mengantarkan kita pada satu format kehidupan yang lebih baik. Bulan Ramadhan kita jadikan momentum pembersihan diri dari dosa dan angkara murka dan penyadaran hati nurani kemanusiaan kita. Puasa jangan hanya kita laksanakan dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum, namun yang paling substansial adalah menjadikannya upaya pengekangan diri dari segala bentuk hawa nafsu yang merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Puasa Ramadhan merupakan kesempatan bagi umat Islam untuk meningkatkan kualitas dimensi keagamaannya. Pertama, dimensi teologis dan spiritualitas yang tercermin dalam komunikasi antara manusia dan Tuhannya, sehingga memungkinkan dalam diri semakin berkembang sifat-sifat ketuhanan yang sebenarnya sudah kita miliki, yakni sifat-sifat positif untuk berbuat kebajikan dan tertanam kepekaan hati nurani dlam bertingkah laku.
Kedua, dimensi sosial. Yaitu tumbuhnya kesadaran sosial dalam batin kita untuk peduli bukan saja pada hal yang hanya berkaitan dengan aspek transendental dan ritual keagamaan, tetapi juga peduli dengan aspek-aspek sosial kemanusiaan. Kepedulian sosial bisa direfleksikan dengan keprihatinan terhadap kondisi sosial yang terdapat dalam realitas empiris. Kualitas kesadaran batin dapat diukur dengan tingkat kepedulian terhadap realitas sosial tersebut, seperti ketaatan kepada pemimpin, hormat dan berbakti kepada orang tua, menyantuni anak yatim dan orang-orang miskin, membela orang yang tertindas hak dan martabatnya, keberanian melakukan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ketiga, dimenisi mental. Dengan berpuasa akan terwujud dalam diri kita mental tegar dan tahan banting, sehingga mampu untuk mengahadapi berbagai tantangan, cobaan, godaan, dan ujian dalam kehidupan ini. Kita senantiasa mampun untuk optimistis dalam berikhtiar dan berusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik dengan tetap mengacu pada nilai-nilai etika dan moral agama. Puasa juga akan melatih mentalitas kita untuk sportif dan jujur dalam menerima amanat dan mengemban tugas, menjauhi sikap pengecut dan khianat dan tidak mudah mengumbar emosi amarah dan permusuhan.
Keempat, dimensi etika. Dengan menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan benar dan berkualitas, maka akan tercermin dalam diri kita nilai-nilai etika dan moral agama yang sangat positif untuk diaktualisasikan dalam pola kehidupan kita sehari-hari, seperti: (1) kemampuan menghadirkan alternatif-alternatif terbaik, dalam pola berpikir, bersikap, dan bertingkah laku; (2) kemampuan dalam mengendalikan diri terhadap keinginan-keinginan negatif, subjektivitas, maupun emosional destruktif. Dan kemampuan mengarahkan diri sendiri kepada kebenaran, sifat obyektif dan konstruktif; (3) kemampuan untuk menahan diri dari jebakan materialistik dan hedonistik; (4) kemampuan moralitas dalam melakukan tugas dan kewajiban melalui pertimbangan rasionalitas dan hati nurani.
Puasa Ramadhan dan serangkaian ibadah lain yang menyertainya selama sebulan penuh, merupakan "kawah condrodimuko" bagi seorang Muslim. Bulan Ramadhan adalah bulan untuk mendidik, melatih, menggembleng kepribadian seorang muslim untuk menjadi lebih baik dan pada gilirannya untuk menjadi seorang muslim yang sejati. Rasulullah bersabda: 'Rugilah seorang hamba yang menemukan bulan Ramadhan dan ia tidak mendapatkan ampunan-Nya". Wallahu a'lam

Ditulis oleh Muhammad Niam    
Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com

Kamis, 21 April 2011

MUHAMMAD SAW SEBAGAI USWATUN KHASANAH


Ada sebuah fenomena alamiah dalam diri manusia untuk mencintai seseorang yang dikaguminya. Kekaguman tersebut bisa lahir dari bentuk fisik yang indah, wajah yang cantik atau tampan, suara yang merd, perilaku yang ramah dan santun., sikap yang tegas dan bijaksana,atau dari hal-hal yang lainnya. Dari berbagai hal yang berpotensi untuk membangkitkan kekaguman dan pada gilirannya menimbulkan rasa cinta tersebut, ada satu hal yang pada umumnya bisa membangkitkan kekaguman dan rasa cinta yang mendalam dan bertahan dalam waktu yang panjang. Hal tersebut adalah kesadaran yang tulus dalam diri seseorang tentang perasaan berhutang budi dirinya kepada seseorang yang telah dengan tulus dan tanpa pamrih-meski sampai mengorbankan jiwa dan raga memberikan sesuatu yang secara hakiki sangat bermakna dan berharga. Cinta yang lahir karena hal yang digambarkan diatas biasanya tidak muncul seketika, tidak seperti love at the first sight, akan tetapi biasanya muncul setelah setelah melalui proses interaksi, baik langsung (face to face), maupun secara tidak langsung (by oral or literal information).
Kemudian, perwujudan dari rasa cinta tersebut juga beragam, dari yang muali sangat sederhana dengan sekedar mengingat-ngingat nama, sampai kerelaan untuk mengorbankan apa saja demi orang yang di cintai. Selain itu, posisi orang yang di kagumi atau di cintai tersebut menempati posisi yang berbeda di mata pengagum atau pencintanya. Ada yang di posisikan sebagai kekasih (pacar), sahabat, saudara dekat, atau idola.
Dalam konteks posisi yang istilahnya di sebut terakhir di atas, yaitu idola, ada kecenderungan umum yang di lakukan oleh seseorang berkaitan dengan idolanya, yaitu “meniru” atau dalam istilah sosiologinya disebut “proses identifikasi”. Artinya, Berupaya untuk berucap, bertindak, berpenampilan, atau yang lainnya, sama persis dengan “objek identifikasi” atau idolanya itu. Contoh konkrit tentang hal itu bisa kita lihat pada beberapa tahun yang lalu ketika film “Ghost” yang di bintangi olehaktris Dewi More, yang berpenampilan dengan model rambut pendek sebahu, menjadi film yang cukup laris, maka serentak para pengagum yang mengidolakan Dewi More merubah model rambut mereka dengan model rambut yang eperti dimiliki oleh Dewi More pada saat berperan di film “Ghost” tersebut. Atau, orang yang mengidolakan Keanu Reeves ketika berperan dalam film “speed” yang box office itu, kemudian merubah potongan rambutnya menjadi rambut seperti yang di miliki oleh Keanu Reeves ketika ia berperan dalam film speed tersebut. Dan banyak contoh-cintoh lain tentang hal itu.
Dalam kaitannya dengan masalah idola, yang kemudian berimplikasi pada di jadikannya idola sebagai objek identifikasi, atau sosok yang di jadikan contoh atau teladan, kita sebagai orang Islam, disamping karena diajarkan oleh Al-Qur’qn dan karena dorongan naluri alamiah kita, maka idola kita yang utama adalah Rasulullah, khususnya Rasulullah Muhammad SAW. Hal tersebut sesuai dengan firma Allah dalam Al-Qur’an Surat Al Ahzab ayat 21, yang artinya:
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah”.
Dengan demikian, sosok yang harus dijadikan sebagai idola yang paling utama bagi orang islam adalah Rasulullah SAW.
Artinya, bukan berarti kita tidak diperbolehkan mempunyai idola-idola lain selain Rasulullah Muhammad SAW, akan tetapi kecintaan kita terhadap idola-idola yang lain tersebut tidak boleh mengalahkan kecintaan kita kepada Rasulullah saw.
Di atas telah disampaikan bahwa kecintaan kita terhadap Rasulullah Muhammad saw, tersebut memang salah satu diantaranya karena diajarkan oleh Al-Qur’an. Akan tetapi, selain karena diajarkan oleh Al-Qur’an, kecintaan kita terhadap Rasulullah saw. Itu juga lahir karena kesadaran kita bahwa kita berhutang budi terhadap Rasulullah Muhammad saw. Yang telah secara tulus bahkan disertai pengorbanan jiwa dan raga beliau telah memberikan itu ajarn yang bisa mengantarkan kita kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Pada bagian terdahulu atau bagian awal dari tulisan ini telah disampaikan bahwa rasa kagum dan cinta lahir dari kesadaran bahwa kita berhutang budi kepada seseoarang yang telah secara tulus berkorban untuk kita, biasnya muncul tidak dengan seketika, akan tetapi baru muncul setelah melalui proses interaksi baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks kecintaan kita kepada Rasulullah Muhammad saw. Setiap orang, bahkan yang mengaku dirinya beragama Islam sekalipun akan setuju bahwa kelahiran tentu harys melalui proses interaksi. Bagi kita yang hidup tidak sejaman dengan Rasulullah saw, proses interaksinya itu tentu bersifat tidak langsung, yaitu lewat informasi yang berkaitan dengan sejarah hidup dan ajaran-ajaran beliau, baik yang berupa informasi oral, maupun literal.
Jadi salah satu upaya untuk menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah Muhammad saw, tersebut adalah dengan membangkitkan kesadaran diri kita bahwa diri kita ini telah berhutang budi yang sangat banyak kepada beliau. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mengkaji hikmah-hikmah berbagai ajaran yang disampaikan oleh beliau dalam rangka memperkuat kesadaran bahwa apa yang di berikannya adalah benar-benar sesuatu yang sangat berharga bagi kita, dan dengan cara mengkaji sejarah perjalanan hidupnya, dalam rangka mempertegas betapa besar pengorbanan beliau untuk menyampaikan ajaran-ajaran yang sungguh mulia tersebut.
Akhlak Rasulullah Muhammad saw. Dalam Memimpin
Salah satu hal yang perlu kita contoh dari diri Rasulullah Muhammad saw. Adalah akhlak beliau dalam menjalankan kepemimpinannya. Gambaran tentang bagaimana Rasulullah Muhammad saw menjalankan tugas kepemimpinannya tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 159, yang artinya:
Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingnya. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.
Asbabun Nuzul ayat yang berkenaan dengan perang uhud, dimana pada perang uhud kaum muslimin menderita kekalahan yang besar. Sesuatu yang memprihatinkan pada saat itu adalh kebanyakan para sahabat pada saat itu melarikan diri dari medan pertempuran, padahal melarikan diri dari medan pertempuran menurut ajaran islam adalah sebuah dosa besar. Karena hal tersebut, Rasulullah Muhammad saw. pada saat itu hanya dikawal oleh delapan sampai empat belas orang saja.
Akan tetapi, meskipun demikian, ketika Rasulullah Muhammad saw. kembali ke Madinah, para sahabat yang lari dari emperan tersebut kemudian kembali menemui Rasul. Ketika Rasulullah Muhammad saw. melihat mereka kembali, beliau tidak berkata kasar dan menunjukan wajah yang ramah. Rasul tetap memperlakukan mereka dengan penuh keramahan. Itulah yang di maksud oleh ayat itu maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Dari ayat tersebut, ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik berkaitan dengan masalah kepemimpinan, atau akhlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu:
-Siap untuk kecewa melihat kinerja para bawahan yang mempunyai kinerja yang tidak baik
-Siap untuk memaafkan bawahan yang mempunyai kinerja yang tidak baik tersebut
-menjauhkan diri dari sikap atau sifat fazhzban, yaitu mempunyai lisan yang kasar dan sering menyakiti orang lain
-Menjauhakan diri dari sikap atau sifat ghalizhal qalb, yaitu hatinya keras, tidak mudah tersentuh dengan penderitaan orang lain
-Memaafkan dan memohon ampunkan mereka yang telah berbuat kesalahan atau kekeliruan
Jika beberapa akhlak tersebut dapat di miliki oleh beberapa pemimpin, maka kesuksesan pemimpin dalam melaksanakan tugasnya akan berwujud kesuksesan yang paripurna dan akan mendapatkan dukungan dari fihak manapun.
Demikianlah sekilas tentang pengertian beserta upaya kita untuk menjadikan Rasulullah sebagai uswatun hasanah.
Wallahu a’lam

Sumber: http://darunnajah.wordpress.com